PERTEMUAN II (Artikel 3)

ARTIKEL 3

Person Centered Therapy (Rogers)

Terapi yang berpusat pada klien (clein-centered) terlihat sederhana dalam teori, namun cukup sulit dalam praktiknya. Singkatnya, pendekatan yang berpusat pada klien berpendapat bahwa orang-orang yang rentan atau cemas, dapat berkembang secara psikologis jika bertemu dengan terapis yang kongruen dan yang mereka rasakan sebagai orang yang mampu memberikan nuansa penerimaan tidak bersyarat dan empati yang akurat. Akan tetapi, disanalah letak kesulitannya. Kualitas dari kongruensi, penerimaan positif tidak bersyarat, dan pengertian secara empati tidak mudah untuk dimiliki oleh seorang konselor.

Seperti teori yang berpusat pada pribadi, pendekatan konseling yang berpusat pada klien dapat dinyatakan dalam bentuk jika-lalu. Jika kondisi kongruensi, penerimaan positif tidak bersyarat, dan mendengarkan secara empati dari terapi tersedia dengan baik dalam hubungan klien-konselor, maka proses terapi dapat terjadi. Jika proses terapi terjadi, maka beberapa hasil dapat diprediksikan. Oleh karena itu, terapi Rogerian dapat dilihat dalam hal kondisi, proses, dan hasil.

Kondisi
Rogers mengansumsikan bahwa agar suatu perkembangan terapeutik dapat terjadi, beberapa kondisi berikut dianggap perlu dan memadai. Pertama, klien yang cemas atau rentan harus bertemu dengan terapis yang kongruen, yang juga memiliki empati, dan penerimaan positif tidak bersyarat untuk klien tersebut. kemudian, klien juga harus dapat melihat karakteristik tersebut dari terapisnya. Terakhir, pertemuan antara klien dan terapi harus mempunyai durasi tertentu.

Signifikasi dari hipotesis Rogerian termasuk revolusioner. Dengan hampir semua psikoterapi, kondisi pertama dan ketiga pasti terjadi: klien atau pasien akan terdorong oleh semacam tekanan untuk mencari pertolongan, serta hubungan antara klien dan terapi akan berlangsung untuk beberapa periode waktu. Terapi yang berpusat pada klien menjadi unik dalam pendekatannyaatas kondisi kongruensi, penerimaan positif tidak bersyarat, dan mendengar secara empati dari konselor yang dianggap perlu dan memadai.

Walaupun ketiga kondisi tersebut perlu pertumbuhan psikologis, Rogers meyakini bahwa kongruensi lebih mendasar daripada penerimaan positif tidak bersyarat dan mendengar secara empati. Kongruensi adalah kualitas umum yang dimiliki oleh terapis, sementara kondisi lainnya adalah perasaan dan sikap spesifik yang dapat diberikan terapis untuk klien secara individual



SUMBER:


Fiest & Fiest. (2010). Teori Kepribadian (Buku 2). Jakarta: Salemba Humanika


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Psikologi dan Internet dalam Lingkup Transpersonal

Resensi Buku Time of Your Life, Bagimu Masa Muda Hanya Sekali

KESEHATAN MENTAL